BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sapi merupakan komoditi utama penghasil daging dan
susu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Hampir seluruh
masyarakat didunia memanfaatkan ternak
sapi sebagai sumber penghasilan sehari hari dan
seluruh masyarakat didunia menyukai akan hasil produksi ternak seperti
daging dan susu.
Namun kebutuhan konsumsi daging di Indonesia masih
sangat kurang sebesar 3,35 gram (5,91
persen), sedangkan untuk telur dan susu sebesar 3,34 gram (5,89 persen)
dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Australia yang mencapai 90,2 kg per
orang. Kekurangan konsumsi daging orang Indonesia diakibatkan karena kurangnya
ketersediaan daging di setiap daerah dan peternakan di Indonesia masih
merupakan peternak tradisional.
Kurangnya ketersediaan daging ini diakibatkan karena
kurangnya perhatian yang lebih dari pemerintah keperternakan maskipun terdapat
program BSS dari pemerintah. Dalam upaya meningkatkan hasil produksi ternak
pertahunnya pemerintah dapat melakukan sekolah peternakan bagi peternakan
rakyat yang masih bersifat tradisional
agar manajemen pemeliharaannya mendapatkan hasil yang efisien.
Manajemen pemeliharaan yang baik dapat meningkatkan hasil produksi ternak yang
efisien. Manajemen pemeliharaan meliputi pemebrian pakan, manajemen kandang,
manejeman kesehatannya dan manajemen perkawinannya. Manajemen kesehatan menjadi
hal yang paling penting dalam manajemen pemeliharaan survei membuktikan bahwa
tingkat kematian atau penyebaran penyakit pada ternak di indonesia masih cukup
tinggi mencapai 90,92 % danangka kematian pedet
usia 0-6 bulan di Provinsi NTB sudah masuk kategori kritis, yang mencapai 20
persen lebih setiap tahunnya, dari jumlah total indukan yang bunting
melahirkan.
penyakit merupakan salah satu faktor
yang menghambat produksi dan reproduksi ternak. Penyakit reproduksi umunya
menyerang ternak betina seperti mandul, Anestrus, otropi ovarium, apalasia
uterus, silent uterus, ovulasi tertunda, pyometra, sistik polikuler, sistik luteal,
abortus, kematian fetus, mumifikasi, maserasi dan penyakit pasca melahirkan
meliputi Retensia Plasenta, Mastitis, Radang Uterus, dan Prolapsus Uteri. Ganguan reproduksi pasca
melahirkan sangat memberikan kerugian yang cukup tinggi terhadap petani maupun
perusahaan besar.
B. Rumusan Masalah
Banyaknya ternak yang mengalami penyakit pasca melahirkan.
C. Tujuan
Untuk mengetahui penyakit yang menyerang ternka pasca
melahirkan.
BAB II
ISI
Penyebaran penyakit pada ternak di indonesia masih
cukup tinggi mencapai 90,92 % danangka kematian
pedet usia 0-6 bulan di Provinsi NTB sudah masuk kategori kritis, yang mencapai
20 persen lebih setiap tahunnya, dari jumlah total indukan yang bunting
melahirkan.
penyakit merupakan salah satu faktor yang menghambat
produksi dan reproduksi ternak. Penyakit reproduksi umunya menyerang ternak
betina seperti mandul, Anestrus, otropi ovarium, apalasia uterus, silent
uterus, ovulasi tertunda, pyometra, sistik polikuler, sistik luteal, abortus,
kematian fetus, mumifikasi, maserasi dan penyakit pasca melahirkan meliputi
Retensia Plasenta, Mastitis, Radang Uterus,
dan Prolapsus Uteri. Ganguan reproduksi pasca melahirkan sangat
memberikan kerugian yang cukup tinggi terhadap petani maupun perusahaan besar.
Adapun penyakit pasca melahirkan sebagai
berikut:
A.
Radang Uterus
Infeksi
pada uterus (rahim) merupakan kejadian yang umum terjadi pada sapi induk selama
periode setelah melahirkan (postpartum). Sapi dengan masa nifas (puerperiumI normal,
uterus bebas dari kontaminasi bakteri empat minggu postpartum).
Uterus secara normal dilindungi dari kontaminasi bakteri oleh vulva, sphincter
vestibular dan servik. Selama dan segera setelah melahirkan, normalnya
uterus akan dikontaminasi oleh bermacam mikroorganisme patogen dan non-patogen.
Sebagian besar bakteri akan dieliminasi oleh mekanisme pertahanan uterus selama
masa puerperium. Organisme patogen yang tetap berada di uterus dan menyebabkan
penyakit di uterus sapi adalah Actinomyces pyogenes. Bakteri
Gram-negatif anaerob, Fusobacterium necrophorum dan Bacteroides
melaninogenicus sering mengikuti A. pyogenes.
Bacteroides menurunkan daya chemotaxis dan
menghambat phagocytosis (pembunuhan) bakteri yang dilakukan
netrofil, persistensi A. pyogenes juga diikuti coliform, Pseudomonas
aeruginosa, staphylococci, hemolytic streptococci. Clostridium spp.
juga dapat menginfeksi uterus dan menyebabkan metritis gangrene atau
tetanus parah. Sebagian besar organisme yang mengkontaminasi uterus selama
masa postpartum akan memproduksi penicillinase.
Infeksi
uterus berkaitan dengan retensi plasenta/Retained Fetal Membrane (RFM),
distokia, kembar, kondisi berlebihan, kondisi kekurangan, konsumsi urea
berlebihan pada periode kering dan populasi sangat padat, penanganan RFM secara
manual, kondisi beranak tanpa sanitasi memadai, serta adanya traumatik pada
saat pertolongan kelahiran. Infeksi uterus postpartum lebih
banyak terjadi pada sapi perah dibandingkan dengan sapi potong. Infeksi uterus
diartikan infeksi dengan ciri adanya lendir dari uterus, masa postpartum,
temuan klinis dan status hormonal.
a.
Diagnosa
Infeksi Saluran Reproduksi
Berdasarkan
gejala klinis, infeksi uterus bervariasi tergantung pada virulensi
dari organisme penyebabnya dan adanya fakor predisposisi penyakit. Lochia (lendir postpartum)
normalnya di keluarkan dari saluran reproduksi awal minggu pertama setelah
melahirkan, namun lendir akan bertahan sampai 30 hari jika involusi uterus
tertunda. Lendir akan berwarna coklat gelap, merah, putih atau terlihat gejala
klinis sepsis. Palpasi perrektal bertujuan untuk melakukan evaluasi
involusi uterus, yang umumnya terjadi setelah tiga minggu
melahirkan. Involusi uterus yang tertunda teraba tanpa tonus dan kurangnya
garis-garis involusi (longitudinal rugae) seperti yang ditemukan pada
uterus normal. Pada kasus metritis, uterus membengkak dan rapuh, terjadi
deposit fibrin dan perlengketan uterus dengan organ lain dapat diraba. Involusi
berjalan normal, jika cairan di dalam lumen uterus sudah tidak dapat
dipalpasi pada 14-18 hari setelah melahirkan.
Sapi
yang lumen uterusnya berisi cairan yang bertahan lama setelah kelahiran dan
dapat diraba, menunjukkan adanya gangguan patologis, tertundanya involusi
uterus atau terjadi kerusakan uterus yang permanen. Evaluasi ukuran servik dan terlihatnya
leleran kental juga diperlukan untuk diagnosa. Endometritis pada sapi perah
ditandai dengan adanya lendir kental dari uterus atau diameter servik lebih
besar dari 7,5 cm setelah 20 melahirkan atau lendir mukopurulen 26 hari setelah
melahirkan.
Pengamatan
eksudat purulen dengan menggunakan speculum vaginoskop untuk
mendiagnosa endometritis subakut dan kronis, serta untuk mengevaluasi respon
penanganan. Penelitian menunjukan 16,9% endometritis dan vaginoskopi mampu
mengidentifikasi lendir purulent 44% total kasus. Sterililitas speculum, disposable dan
persiapan alat sangat penting dilakukan agar aseptis bagi perineum dan
alat genital luar. Real-time ultrasonography digunakan untuk
menunjukkan perubahan uterus yang berhubungan dengan infeksi postpartus.
Cairan intrauterin karena infeksi uterin berisi partikel echogenik dan mudah
dibedakan dengan cairan non-echogenik yang muncul pada saat estrus dan
kebuntingan. Dinding uterus yang mengalami infeksi akan memiliki ketebalan yang
berbeda. Sapi dengan kasus metritis sepsis, terjadi peningkatan jumlah netrofil
(neutropenia). Hypocalcemia, yang terjadi pada awal postpartum menyebabkan
metritis. Kejadian ketosis dan metritis secara bersamaan sering terjadi pada
sapi perah. Konsentrasi level Nonesterified Fatty Acids (NEFAs)
pada sarah sapi mengganggu fungsi limfosit dalam pertahanan tubuh.
Sampel
yang digunakan untuk kultur bakteri adalah cairan intrauterine, dilakukan
kultur pada lingkungan aerob dan anaerob. A. pyogenes dan
Gram-negatif anaerob biasanya disebut sebagai organisme penyebab infeksi
uterus. Kultur bakterial dan uji sensitifitas antibiotik menunjukkan kejadian
infeksi uterus pada suatu peternakan. Pada suatu penelitian, 157
kasus endometritis terdeteksi dengan palpasi rektal, namun isolasi bakteri dari
lendir uterus hanya 22% dari jumlah sampel.
Diagnosa
dengan histologi sel/jaringan, netrofil memberikan respon primer
pada patogen bakteria saat uterus dalam kondisi postpartum,
sehingga terjadi peningkatan jumlah sel-sel Polymorphonuclear (PMN)
pada lumen uterus. Evaluasi jumlah dan sebaran PMN dalam uterus dapat
mengidentifikasi endometritis. Endometritis subklinis pada sapi perah, tidak
menunjukkan gejala klinis, terlihat normal tanpa terlihat lendir infeski.
Netrofil berkisar 18% pada 20-33 hari postpartum dan lebih
besar 10% pada hari 34-47 postpartum.
b. Penanganan dan
Prognosa
Terapi
untuk infeksi uterin dibagi menjadi empat kategori, yakni terapi intrauterin
(antibiotik dan antiseptik kimia), antibiotik sistemik, supportif terapi dan
terapi hormon. Beragam antibiotik dan antiseptik kimia banyak dilakukan infusi
intrauterin untuk penanganan infeksi postpartum sapi. Uterus
memiliki lingkungan anaerob, sehingga dipilih antibiotik yang mampu bekerja
tanpa oksigen. Kebanyakan antibiotik dan kimia menekan aktivitas netrofil pada
uterus dan melamahkan mekanisme pertahanan uterus, sehingga penggunaannya harus
sangat hati-hati. Organisme penyebab infeksi uterus postpartum biasanya
sensitif terhadap penicillin, tetapi bakteri kontaminan yang ada
beberapa minggu postpartum menghasilkan penicillinase,
sehingga menghilangkan efek penicillin pada pemberian
intrauterin. Organisme tersebut akan tereliminasi 30 hari postpartum,
maka pemberian penicillin intrauterin efektif dilakukan
setelah 30 hari postpartum dengan dosis Minimal
Inhibitory Concentration (MIC) 1x106U mampu menekan A.
pyogenes.
Oxytetracycline tidak direkomendasikan untuk
terapi intrauterin untuk infeksi postpartum, karena isolat A.
pyogenes dari uterus sapi resisten terhadap oxytetracycline, oxytetracycline mengiritasi
uterus dan menyebabkan endometritis, serta menimbulkan residu pada susu dengan
masa withdrawal time yang sulit ditentukan. Terapi
larutan iodine intrauterin banyak dilakukan dokter hewan.
Kejadian RFM dan endometritis menurun pada sapi yang diinfusi dengan 500 mL,
2% Lugols iodine segera setelah melahirkan dan enam jam
berikutnya. Pemberian infusi 50-100ml, larutan 2% polyvinylpyrrolidone-iodine 30
hari postpartus tidak meningkatkan perfoma reproduksi sapi
normal dan merugikan terhadap kesuburan sapi karena endometritis. Sehingga,
terapi intrauterin dengan larutan iodine untuk penanganan
infeksi uterus tidak direkomendasi.
Beragam
antibiotik spektrum luas direkomendasikan dengan pemberian injeksi pada kasus
infeksi uterin sapi. Penicillin ataupun analog sintetiknya
telah direkomendasikan (20.000 to 30.000 U/kg BB). Oxytetracycline tidak
direkomendasi dengan pemberian sistemik karena susah mencapai MIC yang
dibutuhkan untuk mematikan A. pyogenes pada lumen
uterus. Ceftiofur (generasi ke 3 cephalosporin)
merupakan antobiotik spektrum luas yang efektif untuk bakteri Gram-positif dan
Gram-negatif penyebab metritis. Ceftiofur dapat menembus semua
lapisan uterus tanpa menimbulkan residu pada susu. Pemberian ceftiofur subkutan
dosis 1mg/kg pada sapi perah postpartum menghasilkan
konsentrasi ceftiofur dan metabolitnya aktif dalam plasma,
jaringan uterus dan cairan lochia, efektif untuk menangani
metritis. Pemberian ceftiofur dosis 2,2 mg/kg selama lima hari
berturut turut, sama efektifnya dengan pemberian procaine penicillin G atau procaine
penicillin G plus oxytetracycline infusi intrauterin untuk pengobatan
infeksi. Terapi cairan elektrolit (polyionic nonalkalizing) diperlukan
pada penanganan dehidrasi karena metritis. Nonsteroidal anti-inflammatory
drugs seperti flunixin meglumine digunakan untuk
mencegah toksemia dan meningkatkan kebugaran. Terapi tambahan berupa kalsium
dan suplemen energi membantu pemulihan induk.
Pemberian
estrogen dan oxytocin tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan
kontraksi myometrium, menghasilkan estrogen sehingga material
sepsis akan tersebar ke seluruh uterus dan servik, menyebabkan salpingitis
bilateral. Prostaglandin F2α (PGF2α) dan analognya banyak digunakan pada
bermacam abnormalitas saluran reproduksi, seperti infeksi uterin postpartum.
Konsentrasi prostaglandin F2α pada serum berhubungan dengan involusi uterus.
Prostaglandin tidak berperngaruh pada aktivitas ovarium postpartus,
tapi berpengaruh pada konsentrasi luteinizing hormone pada
plasma. Prostaglandin merupakan hormon yang bagus untuk terapi pyometra. Luka
endometrium mengalami kesembuhan dalam 30 hari, kesuburan akan membaik.
Pemberian GnRH tunggal pada awal postpartum atau dikombinasi
PGF2α 14 kemudian, akan menginduksi siklus estrus namun tidak meningkatkan
perfoma reproduksi sapi perah dengan kasus distokia, RFM, atau keduanya.
Prognosis
untuk kesembuhan infeksi uterin postpartum bervariasi
tergantung tingkat keparahan. Kebanyakan sapi dengan endometritis dapat
disembuhkan. Metritis diikuti dengan septisemia berakibat kerusakan permanen,
penurunan produksi susu, laminitis, atau kematian pasien walaupun dengan
pengobatan yang agresif. Pyometra dapat disembuhkan dengan penanganan intensif
dan benar.
c. Pencegahan Penyakit
Sapi
dengan abnormalitas postpartum seperti hypocalcemia,
distokia dan RFM lebih beresiko terhadap infeksi uterus dibanding dengan sapi
normal. Manajemen sanitasi, nutrisi, menjaga kepadatan populasi dan
pencegahan stress harus ditingkatkan untuk mencegah kasus
infeksi. Kebersihan kandang saat melahirkan, prosedur aseptis untuk penanganan
distokia sangat dibutuhkan. Kontaminasi lingkungan oleh mikroorganisme patogen
menimbulkan infeksi saluran reproduksi selama 2-3 bulan postpartus.
Sapi dengan gejala infeksi saluran reproduksi dipisahkan ke kandang isolasi.
Pemberian ceftiofur sistemik yang berhubungan dengan distokia,
RFM, atau keduanya mengurangi kejadian metritis hingga 70% dibandingkan dengan
sapi yang tanpa dilakukan pemberian antibiotik.
d. Penyebab
Adanya
kontaminasi mikroorganisme dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada uterus.
Sebenarnya pada sapi yang uterusnya terinfeksi, bakteri terlihat berada dalam
uterus tanpa berproliferasi menjadi suatu peradangan, sampai progesteron luteal
turun meregulasi fungsi imun, dan menyebabkan suatu kondisi patologis. Infeksi
uterus sering kali dihubungkan dengan Arcanobacterium pyogenes, Escherichia
coli, Fusobacterium necrophorum dan Prevotella melaninogenicus , serta bovine
herpesvirus-4 dan Corynebacterium pyogenese, dapat diidentifikasi sebagai salah
satu mikroorganisme penyebabnya. Faktor pendukung terjadinya
endometritis(radang uterus) adalah distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran
kembar, infeksi bakteri serta penyakit metabolit.
B.
Prolapsus Uteri (Broyong) Pada
Ternak
Prolapsus uteri merupakan keadaan uterus membalik ke luar
melalui vulva pada stadium ketiga kelahiran. Prolapus uteri menyebabkan jarak
kelahiran, days open, dan estrus post partum menjadi lebih panjang. Prolapsus uteri (broyong)
adalah kondisi dimana rahim (uterus) ternak betina keluar dari tubuh pada saat
ternak betina tersebut merejan. Kondisi ini akan selalu berulang kecuali dengan
penanganan yang cermat. (Toelihere 2008) Menambahkan bahwa Prolapsus uteri
adalah mukosa uterus keluar dari badan melalui vagina secara total ada pula
yang sebagian. Prolapsus atau pembalikan uterus sering terjadi segera sesudah
partus dan jarang terjadi beberapa jam sesudah itu. Predisposisi terhadap
prolapsus uteri menurut Toeliehere (1985) adalah pertautan mesometrial yang panjang,
uterus yang lemah, atonik dan mengendur, retensi plasenta pada apek uterus
bunting dan relaksasi daerah pelvis yang berlebihan
a.
Adapun
penyebab Prolapsus Uteri sebagai
berikut:
b. Ternak
selalu dikandangkan
c. Tingginya
hormon estrogen.
d. Tekanan
intra abdominal saat berbaring
e. Kelainan
genetik.
f. Ternak
di kandang dengan bagian belakang lebih rendah daripada bagian depan.
Menurut
Toeliehere (1985) Prolapsus uteri sering terjadi pada sapi yang sudah sering
partus dan hewan yang telah berumur tua dan makanan yang kurang baik selama
hewan itu dipelihara dalam kandang, menyebabkan keadaan ligamenta penggantung
uterus menjadi kendor, lemah dan tidak cepat kembali ke posisi sebelum bunting.
b. Gejala klinis/ Tanda-tanda
Prolapsus Uteri:
a. Nafsu
makan dan minum turun.
b. Ternak
gelisah.
c. Ternak
biasanya berbaring tetapi dapat pula berdiri dengan uterus menggantung
kebelakang.
d. Selaput
fetus dan atau selaput mukosa uterus terbuka dan biasanya terkontaminasi dengan
feses, jerami, kotoran atau gumpalan darah.
e. Uterus
biasanya membesar dan udematus terutama bila kondisi ini telah berlangsung 4-6
jam atau lebih.
c. Tindakan pencegahan
prolapsus uteri
a. Membuat
desain lantai kandang yang tidak terlalu miring.
b. Ternak
di exercise (ternak di umbar).
c. Kontrol
manajemen pakan sehingga ternak yang bunting tidak mengalami kegemukan
d. Jangan
memelihara ternak yang pernah mengalami kejadian prolaps vagina atau rektal
pada saat bunting.
Penanganan prolapsus uteri
Penanganan
secara teknis yaitu dengan menempatkan ternak pada kandang dengan kemiringan 5
–15 cm lebih tinggi dari bagian belakang. Penanganan prolapsus dipermudah
dengan handuk atau sehelai kain basah. Uterus dipertahankan sejajar vulva
sampai datang bantuan. Uterus dicuci bersih dengan air yang dibubuhi
antiseptika sedikit. Uterus direposisi. Sesudah uterus kembali secara sempurna
ketempatnya, injeksi oksitosin 30-50 ml intramuskuler. Kedalam uterus
dimasukkan larutan tardomisol (TM) atau terramisin. Dilakukan jahitan pada
vulva dengan jahitan Flessa atau Buhner. Jahitan vulva dibuka dalam waktu 24
jam. Dalam waktu tersebut servik sudah menutup rapat dan tidak memungkinkan
terjadinya prolapsus. Penyuntikan antibiotik secara intramuskuler diperlukan
untuk membantu pencegahan infeksi uterus. Prinsip dasar penanganan kasus ini adalah
mengembalikan organ yang mengalami prolaps ke posisi normalnya.
Ini
adalah sebuah penanganan darurat untuk kasus prolapsus uteri yang sering
terjadi apabila peralatan dan obat yang terbatas.
a. Siapkan
air bersih.
b. Sediakan
sekitar 4 buah es batu (biasanya dibungkus plastik @ 1liter)
c. Siapkan
alkohol.
d. Siapkan
jarum jahit/ 1 set alat jahit (kalau tidak ada, pakai jarum karung dan tali
rafia -semuanya dicuci air panas dan direndam dulu dalam alkohol 70%).
e. Cuci
alat reproduksi yang keluar dengan air bersih sekalian sisa placenta dan corpus
luteum disingkirkan sekalian, lalu perlahan-lahan masukkan seluruh organ
reproduksi itu kedalam sampai masuk seluruhnya.
f. Tekan
mulut vagina dan masukkan es batu kedalam, untuk membekukan darah.
g. Jahit
luka sobeknya dengan jarum dan tali rafia.
h. Letakkan
ternak pada alas tanah dengan posisi kaki depan lebih rendah dari kaki belakang
i.
Usahakan ternak berada dalam ruangan yang
terbatas, ternak tidak dapat memutar.
j.
Injeksi dengan vitamin A, D, E, K serta
prepaat calcium (misalnya Calidex - su ctan sebanyak 25 cc).
k. Beri
ternak makan dan minum secukupnya.
l.
Setelah 3 - 4 hari biasanya kandungan sudah
mulai normal dan jahitan sudah mengering, tali rafia boleh dilepaskan.
d.
Penanganan
Prolapsus juga dapat dilakukan dengan cara :
a. Bagian
vagina yang mengalami prolapsus di bersihkan dengan air yang telah dicampur
Iodium Tincture sebelumnya
b. Bagian
vagina dan cervix kemudian di dorong dan di masukkan dengan cara menguakkan
vulva, mendorong vagina bagian ventral terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan
dengan bagian dorsal. Kemudian ujung prolaps dimasukkan dengantangan seperti
meninju kearah dalam.Hal yang perlu diperhatikan adalah : hindari terjadinya
bleeding, dan yang kedua, apabila prolaps sudah di masukkan pada posisi yang
benar, secara otomtis sapi akan urinasi alias kencing, Hal ini terjadi karena
semasa prolaps, saluran urethra akan tertutup/tergencet dengan bagian vagina
yang keluar.
c. Anestesi
epidural
Anestesi epidural ini,
jarum di suntikkan pada ruang intercoccygeal pertama
Apabila berhasil, maka
bagian-bagian yang terblokir oleh anestesi epidural ini adalah
bagian yang di arsir
pada gambar berikut, apabila menggunakan procain 2% sebanyak 10cc
Apabila telah dilakukan anestesi, maka perlu kita
cek terlebih dahulu, apakah anestesi yang kita lakukan sudah bekerja atau
belum. Caranya adalah dengan melihat ekornya, apabila ekornya sudah lemas, dan
tidak ada gerakan menyibak-nyibakkan ekor,maka obat sudah mulai berfungsi. Cara
yang kedua adalah yang paling valid, kita ambil jarum steril kita suntikkan
pada bagian yang akan kita jahit. Apabila sapi menendang-nendang atau masih
bergerak, berarti efek obatnya belum sempurna, perlu di tunggu beberapa menit
atau di tambah dosisnya.
Obat yang
digunakan adalah Lidocaine 2 %. Berdasarkan pengalaman, 2 ampul atau 4 cc saja
sudah cukup untuk kasus ini. Pemberian ini aman, berdasarkan yang saya baca di
buku anestesi veteriner, anestesi ini pada sapi menggunakan procaine 2% dengan
pemberian mencapai 17 cc atau 9 ampul.
d. Menjahit
vagina
Benang digunakan adalah tali sepatu, yang
sudah di rendam dalam Iodium tincture
supaya steril dan dapat juga menggunakan pita. Dengan Model jahit lubang peluru, yang
memutari vagina. Kemudian jahitan dibuka kembali setelah
24 jam.
e.
Untuk
menghindari infeksi, sebaiknya sapi di beri antibiotic, penangan suportif
terapi yang lain seperti antihistamin dan ATP.
C. RETENSIO PLACENTA
Retensi placenta atau retensi
sekundinarium atau retensi skundiae adalah gangguan komplek yang ditandai
dengan kegagalan pelepasan membrane fetus pada stadium membrane. Secara
fisiologik selaput fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus, apabila
placenta menetap lebih lama dari 8-12 jam sehingga disebut retensio sekundinae
(placenta).
Retensio placenta merupakan keadaaan
dimana gagalnya pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal
(manan,2002). Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus , tidak ada
darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur
terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang
tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. karakula maternal mengecil karena
suplai darah berkurang sehingga kripta pada karankula berdilatasi. Akibat daari
semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karunkula sehingga placenta
terlepas. Pada retensi placenta, pemisahan dan pelepasan vili fetalis dari
kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi pertautan. Kurang dari 3%
kasus retensio placenta disebabkan oleh gangguan mekanis, 1-2% kasus disebabkan
karena induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan placenta setelah
melahirkan, mungkin juga karena defisiensi hormon yang menstimulasi kontraksi
uterus pada waktu melahirkan, seperi oksitoksin atau estrogen.
Gangguan pelepasan placenta yang berasal
dari karunkula induk dimana terjadinya gangguan pembentukan prostaglandin pada
karunkula induk sehingga kontraksi uterus menurun. karena semakin sedikit
prostaglandin yang diproduksi semakin lemah pula kontraksi uterus yang terjadi.
Menurut
penelitian Barnouin dan Chassagne (1996), masa bunting yang tidak normal dan
gangguan saat melahirkan merupakan faktor yang paling berpengaruh seperti
gangguan kontraksi uterus akibat perlukaan atau mekanisme stress. Dilaporkan
juga adanya keterkaitan munculnya retensi plasenta dengan gangguan metabolisme
setelah melahirkan. Menurut Larsons (1985) dan Joosten (1991) ada pengaruh
musim terhadap kejadian retensi plasenta, dimana angka kejadian retensi
plasenta meningkat pada musim panas atau musim gugur.
a. Penyebab penyakit retensio plasenta
Faktor- faktor penyebab
munculnya retensi plasenta berbeda antara suatu negara dan negara lainnya
karena adanya perbedaan manajemen, kondisi lingkungan, temperatur, dan kontrol
kondisi kesehatan pada suatu peternakan di negara tertentu sehingga retensi
plasenta juga akan memberikan penampilan reproduksi yang berbeda setelah
melahirkan di masing-masing negara tersebut (Faye, 1991).
b. Gejala Dari Penyakit Retensio
Plasenta
Ada Beberapa gejala klinis yang cukup
jelas pada sapi yang mengalami retensio plasenta yaitu sebagian selaput fetus
menggantung keluar dari vulva 12 jam atau lebih sesudah kelahiran normal,
abortus atau distokia. Presentasi retensio plasenta yang menunjukkan gejala
sakit kurang lebih 75% tetapi kurang lebih 20 % gejala metritis diperlihatkan
antara lain depresi, tidak ada nafsu makan, peningkatan suhu tubuh, frekuensi
pulsus meningkat dan berat badan menurun (Purba, 2008). Adapun gejala lain yang
nampak yaitu adanya keberadaan selaput fetus di dalam servik dan bibir vulva
menjadi bengkak merah dan kecoklatan(Toelihere,1985).
c. Penanganan Dari Penyakit Retensio
Plasenta
Ada
beberapa penanganan dan pengobatan yang dapat diberikan pada kasus retensi
palsenta yaitu pemberian preparat hormon, pelepasan secara manual dan pemberian antibiotik sistemik,.Untuk
treatment pengobatan yang akan diberikan pada kasus retensi plasenta
pertama-tama harus memperhatikan adanya infeksi ikutan.Penanganan pada kasus
retensi plasenta bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa plasenta dari saluran
reproduksi, ini harus segera dilakukan dengan segera untuk menghindari
terjadinya infertilitas pada induk. (Hardjopranjoto,1995). Plasenta harus
keluar karena akan mempengaruhi proses reproduksi selanjutnya. Bakteri yang
menempel pada plasenta akan masuk ke dalam organ reproduksi. Jasadjasad renik
seperti Burucella Abortus, Tuberculosis Campylobacter Fetus dan berbagai jamur
menyebabkan placentitis.
d.
Hormon
yang berperan dalam penanganan penyakit retensio plasenta
Produk hormon yang paling umum digunakan dalam mengobati retensi
plasenta adalah prostaglandin dan oksitosin. Hormon ini berperan dalam
kontraksi uterus dan dapat efektif dalam mengobati retensi plasenta karena
atonia uteri. Namun, banyak penelitian yang tidak mendukung penggunanaanya
sebagai pengobatan yang umum pada retensi plasenta (Patel.RV etal., 2016).
Bekerja secara tidak langsung, yaitu dengan menyebakan kontraksi dan dilatasi
serviks. Menurut Waheeb et al., (2014) pemberian
PGF2α menunjukan hasil calving interval 380 hari, conception rates 60%.
Pengobatan menggunakan PGF2α menunjukan ekspulsi dari plasenta sebesar
100%. Menurut Waheeb et al., (2014)
pengobatan dengan oksitosin nenunjukkan hasil calving interval sepanjang 409
hari, sementara conception rates 30%. Kurang efektifnya oksitosin dibandingkan
prostaglandin disebabkan oleh variasi dosis oksitosin yang dibutuhkan, waktu
injeksi, dan kombinasi dengan estrogen.
e.
PengobatanAntibiotik
Yang Berperan Dalam Penanganan Penyakit Retensio Plasenta
Antibiotik Penggunaan terapi antimikroba dalam pengobatan retensi
plasenta telah menunjukkan hasil yang bertentangan. Penggunaan antibiotik
diindikasikan untuk penanganan gejala retensi plasenta yaitu metritis, efektif
untuk mencegah atau mengobati metritispostpartum dan efek negatif berikutnya
pada kesuburan. Penggunaan antibiotik chlortetracycline intrauterin sangat
bermanfaat hanya dalam kasus aktif metritis klinis, bahwa antibiotik
intrauterine bisa mengontrol pertumbuhan bakteri lokal dengan begitu bisa
benar-benar mengganggu proses necrotizing yang akhirnya bertanggung jawab
untukpelepasan retensi plasenta. Antibiotik tetrasiklin yang biasa digunakan
untuk perawatan intrauterin pada sapi, menghambat Metaloproteinase matriks,
atau MMP, sesuai dengan namanya, merupakan protease dengan aktivitas degradasi
terhadap protein jaringan ikat seperti kolagen, elastin, proteoglikan dan
laminin. Antibiotik sistemik diyakini bermanfaat dalam kasus retensi plasenta
(Patel,RVet al., 2016). Penanganan yang dapat dilakukan dengan pelepasan
selaput fetus secara manual, pemberian preparat antibiotika spektrum luas
(oxytetracyclin, Chlortetracyclin atau Tetracyclin) (Lukman et al., 2007).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Afshin D (2011) dengan membandingkan
penanganan retensi plasenta pada sapi perah di Iran yaitu antara penanganan
secara manual, injeksi intrauterin dan pemberian oxytetracylin dimana yang
memberikan hasil yang signifikan adalah dengan pemberian oxytetracyclin.
f. Pelepasan Manual Plasenta yang
dilakukan dalam penanganan
penyakit retensio plasenta
Pelepasan
manual plasenta (Manual Removal) Pelepasan secara manual terhadap plasenta
tetap menjadi praktek umum yang digunakan untuk penanganan kasus retensi,
meskipun telah banyak penelitian yang gagal menunjukkan efek menguntungkan pada
reproduksi setelah penanganan dengan pelepasan secara manual, (Patel.RV,et al.,
2016) Pelepasan secara manual dapat mengakibatkan terjadinya infeksi rahim yang
lebih sering dan parah bila dibandingkan dengan pengobatan yang lebih
konservatif dan pelepasan plasenta secara manual dapat mengakibatkan calving
interval yang berkepanjangan.Selain itu, bakteri patogen intrauterin ditemukan
di 100 persen sapi yang diberikan penanganan dengan pelepasan plasenta secara
manual,namun beberapa bukti dan penelitin yang ada terkait dampak penanganan
dengan manual removal tidak mendukung dan memberikan kesadaran untuk tidak
melakukan manual removal. Hal ini mungkin baik terhadap nilai estetika dalam menghilangakan
dan membersihkan bau khas dari plasenta dan manfaat yang dirasakan, yang telah
dipertanyakan oleh penelitian saat ini. Manfaat yang dirasakan termasuk gagasan
bahwa mengeluarkan plasenta menghilangkan potensi sumber infeksi dan dengan
demikian akan mengurangi endometritis dan efek negatif berikutnya pada
kesuburan (Patel.RV et al., 2016). Hal ini juga didukung bahwa dengan pelepasan
plasenta yang masih tertaut dapat menyebabkan kerusakan pada endometrium dan
menekan fagositosis leukosit di uterus yang dapat menginvasipertumbuhan
bakteri.Selain itu, sulit untukmemastikan bahwa seluruh plasenta telah
dikeluarkan, dengan meninggalkan banyaknya nekrotik yang lebih berkontribusi
terhadap invasi bakteri dari kerusakan endometrium.Pemeriksaan nekropsi sapi
setelah penanganan dengan pelepasan manual plasenta mengungkapkan terjadinya
pendarahan dinding uterus, hematoma dan trombus pembuluh darah, serta bukti
makro atau mikroskopik yaitu jaringan kotiledon fetus melekat pada karunkula.
Kombinasi kerusakan pada endometrium, invasi bakteri dan penekanan leukosit
fagositosis dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya metritis postpartum dan
efek negatif berikutnya pada kesuburan (Patel.RV et al., 2016). Pelepasan
plasenta manual dapat dilakukan dengan
menempatkan tangan pada endometrium dan chorion di ruang
interkotiledoner dan kotiledon fetal serta karankula dipegang secara
individual, ditekan dan dengan ibu jari serta jari telunjuk memisahkan secara hai-hati. semua selaput fetus harus
dikeluarkan secara keseluruhan tanpa meninggalkan sisa didalam uterus yang
sangat berpotensi terjadinya infeksi, dapat juga dilakukan irigasi (pencucian)
dengan iodine povidone dengan konsetrasi <0,6 %. Providon Iodine boleh
digunakan untuk infuse intrauterine apabila pengobatannya sudah menggunakan
antibiotika intrauterine tidak berhasil, dan harus digunakan dengan konsentrasi
<0.6% (Grunert,E, 1984). Perlekatan kotiledon dan karunkula 48 jam setelah
partus masih kuat (Youngquist dan Threfael, 2007), 62% pengeluaran sempurna, 27%
parsial, 11% tidak dapat dilepas (Youngquist dan Threfael, 2007). Pelepasan secara manual memperpanjang days
open dan calving interval (Waheeb et al., 2014). Pelepasan manual menyebabkan kerusakan
uterus, terutama di level mikroskopik dan berlanjut dengan infeksi (Amin, 2013;
Waheeb et al., 2014; Zubair et al., 2014).
Gambar Pelepasan secara manual plasenta
g. Pencegahan Dari Penyakit Retensio
Plasenta
o
Melakukan manajemen kandang
o
Memberikan vitamin A selama masa partus
o
Manajemen Pakan
D. DISTOKIA
Distokia adalah suatu gangguan dari suatu proses kelahiran
atau partus, yang mana dalam stadium pertama dan stadium kedua dari partus itu
keluarnya fetus menjadi lebih lama dan sulit, sehingga menjadi tidak mungkin
kembali bagi induk untuk mengeluarkan fetus kecuali dengan pertolongan manusia.
Distokia dibagi menjadi 2 jenis yaitu distokia maternal dan distokia
fetal. Distokia maternal terjadi karena faktor saluran kelahiran dan organ
pendukung kelahiran (uterus dan abdomen). Faktor saluran kelahiran terbagi
menjadi ketidakmampuan dilatasi (uterus, serviks, vagina dan vulva) dan ukuran
pelvis yang tidak memadai. Selain itu, distokia maternal dapat disebabkan oleh
faktor kegagalan untuk mengekspulsi fetus akibat gangguan pada uterus yaitu
inertia uteri, ruptur uteri atau torsio uteri; akibat gangguan pada abdomen
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk merejan dan obstruksi pada jalan
kelahiran.
Distokia fetal dapat terjadi karena faktor ukuran fetus yang terlalu
besar (fetal oversize, fetal monster) dan faktor kesalahan posisi
fetus (maldisposisi fetal) seperti malpresentasi, malposisi atau malposture
fetal . Ukuran fetus yang besar dipengaruhi oleh banyak faktor yang meliputi :
keturunan, faktor pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil, lama
kebuntingan, jenis kelamin fetus yaitu fetus jantan cenderung lebih besar,
kebuntingan kembar, pernah beranak sebelumnya serta nutrisi induk seperti
pemberian pakan terlalu banyak sehingga dapat meningkatkan berat badan fetus
dan timbunan lemak intrapelvis yang dapat menurunkan efektifitas perejanan.
Selain itu, distokia fetal dapat juga disebabkan oleh faktor defisiensi hormon
(ACTH/cortisol) dan kematian fetal.
a. Gejala Penyakit
- Sapi sudah menunjukkan tanda-tanda akan beranak (ambing
membengkak dan mulai meneteskan kolostrum.
- Alat kelamin betina bengkak dan mengeluarkan lendir,
merejan dan posisi badan membungkuk), namun sulit untuk mengeluarkan anak.
b.
PENYEBAB
Penyebab-penyebab dasar distokia pada sapi antara lain :
1.
Faktor Lingkungan
1.
Ternak yang diberi makan yang jelek dan
berada dalam kondisi yang buruk maka dapat mengalami kasus distokia yang
tinggi, dan mengurangi daya hidup pedet. Pemberian pakan yang terlalu banyak
juga dapat menyebabkan meningkatnya berat fetus, timbunan lemak intrapelvis,
dan beresiko besar mengalami distokia. Namun pengurangan diet secara drastis
pada beberapa minggu terakhir kebuntingan juga harus dihindari karena fetus
akan terus tumbuh, sedangkan tubuh induk akan menjadi korban karena nutrisinya
terserap ke fetus.
- Hipokalsemia pada saat
kelahiran adalah salah satu penyebab inersia uterine primer. Beberapa
penyakit lain seperti salmonellosis dan brucellosis juga dapat menyebabkan
distokia
2. Faktor Intrinsik
- Umur, berat badan, ukuran pelvis induk : insiden
distokia yang tinggi terjadi pada sapi dara, yang dikawinkan sewaktu muda,
dan pada kelahiran pertama sapi, namun hal ini dapat hilang seiring
bertambah besarnya induk. Diameter pelvis dan area pelvis juga meningkat
seiring pertumbuhan dari berat badan induk. Jarak eksternal diantara tuber
coxae juga harus lebih besar dari 40 cm sebelum sapi dara dikawinkan.
- Lama kebuntingan : hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pada beberapa ras continental (Bos taurus) menunjukkan waktu
kebuntingan lebih lama, sampai hampir 290 hari dibandingkan waktu normal
sapi yakni 283 hari. Pada sapi yang bunting lebih lama juga dapat
meningkatkan berat anak sapi rata-rata 0,5 kg per hari dan panjang tulang
fetus juga meningkat.
- Presentasi fetus : insiden distokia dan lahir mati juga
kasus-kasus tertinggi dalam kasus distokia.
Gambar
Posisi Anak Sapi Distokia
c. Pencegahan
- Pemberian pakan dengan nutrisi yang baik selama
kebuntingan.
- Menggunakan semen dari pejantan yang sesuai dengan
bangsa sapi induk
d. PENANGANAN
Penanganan distokia yang dapat dilakukan yaitu :
1) Mutasi, mengembalikan presentasi, posisi dan postur fetusagar
normal dengan cara didorong (ekspulsi), diputar (rotasi) dan ditarik (retraksi)
2) Penarikan paksa, apabila
rahimlemah dan fetustidak ikut bereaksi terhadap perejanan.
3) Pemotongan fetus (fetotomi), apabila presentasi, posisi dan postur fetusyang abnormal tidak bisa diatasi dengan mutasi/penarikan paksa dan keselamatan induk yang diutamakan.
4) Operasi Sesar(Sectio Caesaria), merupakan alternatif terakhir apabila semua cara tidak berhasil. Operasiini dilakukan dengan pembedahan perut (laparotomi) dengan alat dan kondisi yang steril.
3) Pemotongan fetus (fetotomi), apabila presentasi, posisi dan postur fetusyang abnormal tidak bisa diatasi dengan mutasi/penarikan paksa dan keselamatan induk yang diutamakan.
4) Operasi Sesar(Sectio Caesaria), merupakan alternatif terakhir apabila semua cara tidak berhasil. Operasiini dilakukan dengan pembedahan perut (laparotomi) dengan alat dan kondisi yang steril.
Mutasi dapat dilakukan melalui repulsi (pendorongan fetuskeluar
dari pelvis induk ataujalan kelahiran memasuki rongga perut dan
rahim sehingga tersedia cukup ruangan untuk pembetulan posisi atau postur
fetusdan ektremitasnya), rotasi(pemutaran tubuh pada sumbu panjangnya
untuk membawa fetuspada posisi dorsosakral), versi(rotasi fetuspada
poros transversalnya yaitu situs anterioratau posterior) dan
pembentulan atau perentangan ekstremitas.
D.
DEMAM
SUSU (MILK FEVER/PARESIS PATELLARIS)
a. Gejala Umum
- Gejala penyakit pada tingkat
masih rendah, sapi masih dapat berdiri, tetapi nafsu makan hilang, kurang
peka terhadap lingkungan,kaki dan telinga dinging, suhu badan rendah
kurang lebih 35˚C, kaki belakang lemah dan sulit berkurang atau berhenti
sehingga terjadi penimbunan gas di dalam rumen
- Tingkat parah sapi hanya mampu
bertahan 6 sampai dengan 24 jam saja. Sebenarnya angka kesembuhannya cukup
baik dan tingkat mortalitas kurang dari 2-3 % apabila segera diketahui dan
diberikan pertolongan
b. Penyebab
- Produksi air susu. Biasanya peningkatan produksi air
susu akan meningkatkan metabolisme Ca dan meningkatkan Ca ke colostrum.
Bila pemasukan tidak seimbang maka kemungkinan besar akan terjadi Milk
Fever.
- Umur sapi. Penyerapan Ca pada
sapi-sapi tua mengalami penurunan.
- Kemauan makan sapi. Pada saat
menjelang melahirkan, 8-16 jam atau lebih, kebanyakan sapi mengalami
penurunan nafsu makan. Turunnya nafsu makan akan menyebabkan turunnya
ketersediaan kalsium yang siap diserap.
- Ransum pakan. Pakan sapi perah yang terdiri dari
hijauan dan konsentrat yang seimbang adalah Ca:P = 1:1.
c. Perawatan
- Penyuntikan 750 s/d 1500 ml Gluconas calcium 20 %
secara intravena pada vena jugularis. Suntikan dapat diulangi kembali
setelah 8 sampai 12 jam kemudian
d. Pencegahan
·
Sapi
harus cukup mendapatkan kandungan Ca, P, Mg dalam ransum.
- Pengobatan dengan injeksi preparat-preparat Ca secara
intravenous 500 cc, dengan larutan calsium gluconate 20 %.
F.
MASTITIS
Mastitis adalah suatu peradangan pada ambing karena
suatu penyakit atau proses infeksi yang secara signifikan dapat mengurangi
produksi susu terutama pada industri sapi perah, dan penyakit ini dapat terjadi
pada semua mamalia. Pada sapi penyakit ini sering dijumpai pada sapi perah dan
disebabkan oleh berbagai jenis bakteri atau mikroplasma.Penyakit mastitis dapat
bersifat sub akut, akut, atau kronis.
a.
Adapun penyebab terjadinya mastitis:
1. Penyebab utama pada
mastitis adalah bakteri Staphylococcus sp.
Bakteri ini bisa menginfeksi karena kandang yang tidak bersih, ketika
ternak tidur ambing langsung bersentuhan langsung dengan lantai kandang, dan
adapaun bakteri lainnya seperti Streptococcus agalactiae , Streptococcus
disgalactiae , Streptococcus uberis, Streptococcus zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter
aerogenes, Psuedomonas aeruginosa
2. Lubangnya ambing yg terbuka lebar disebabkan ternak sedang
masa laktasi.
3. Bahan kimia
4.
Temperatur atau suhu
5. Trauma peralatan mekanik
6. Bakteri
penyebab mastitis juga banyak terdapat di lingkungan tempat hewan di pelihara.
Bakteri ini dapat hidup di kulit, lantai kandang, atau alat-alat yang telah
tercemar. Bakteri ini dapat bertahan hidup apabila pemerahan yang tidak higenis
dan kebersihan lingkungan yang buruk, apabila bakteri masuk ke lubang puting
maka akan terjadi infeksi ambing. Kesalahan dalam perawatan mesin perah dan
kesalahan manajemen kebersihan akan memudahkan terjadinya mastitis pada sapi.
b.
Gejala Mastitis
1.
Adanya pembengkakan pada ambing dan puting yang terjadi pada satu kwartir atau
lebih.
2.
Timbulnya rasa sakit ketika ternak diperah.
3. Menurunnya produksi susu bahkan air susu tidak
keluar sama sekali.
4. Meningkatnya suhu badan dan frekuensi pernafasan
ternak
5. Nafsu makan ternak akan menurun
secara drastis
Berdasarkan gejala klinisnya, mastitis
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Mastitis
klinis: apabila terdapat perubahan fisik susu seperti susu pecah, bercampur
nanah, ambing yang membengkak asimetris, berdarah, berjonjot, dan apabila di
pegang panas serta menunjukkan adanya respon rasa sakit bila dipegang.
2. Mastitis
subklinis: apabila secara fisik tidak ditemukan adanya perubahan dari susu,
tetapi apabila dilakukan uji mastitis maka akan terlihat adanya peningkatan
jumlah sel darah putih dalam susu.
c.
Pencegahan Mastitis
1. Higinie dan
manajemen pemerahan, serta sanitasi kandang yang baik dapat mencegah
timbulnya penyakit ini.
2.
Memisahkan ternak yang menderita mastitis dengan ternak yang sehat.
d.
Pengobatan Mastitis
1. Menggunakan
antibiotik yang sesuai dengan bakteri yang menginfeksi, dan disarankan untuk
melakukan uji sensitivitas terhadap bakteri sebelum melakukan pengobatan agar
di peroleh hasil yang optimal. Tetapi penggunaan antoibiotika yang terus
menerus dikhawatirkan akan berdampak pada kandungan residu yang tinggi.
2. Pemberian
Alga hijau
Penelitian
ini diawali dengan melakukan ekstraksi alga hijau. Selanjutnya, dilakukan uji
in vitro dengan metode difusi agar bertujuan untuk mengetahui zona hambat
bakteri dan menentukan konsentrasi efektif dari ekstrak alga hijau yang mampu
menghambat atau mematikan bakteri. Kemudian dilanjutkan uji dengan menggunakan
hewan coba tikus yang diinfeksi bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) penyebab mastitis dengan cara dipping dan peroral. “Uji ini
dilakukan selama 14 hari dan didapatkan hasil yang positif,” paparnya. Marista
berharap potensi ekstrak alga hijau sebagai pengobatan alami kasus mastitis ini
dapat mengurangi penggunaan antibiotik dan dapat dikembangkan menjadi
pengobatan injeksi pada hewan ternak.
Daging
sapi yang menderita penyakit ini dapat
dikonsumsi, tetapi harus memperhatikan tingkat keradangan ambing. Jaringan
ambing yang rusak karena infeksi harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau
dikubur.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
penyakit
merupakan salah satu faktor yang menghambat produksi dan reproduksi ternak.
Penyakit reproduksi umunya menyerang ternak betina seperti mandul, Anestrus,
otropi ovarium, apalasia uterus, silent uterus, ovulasi tertunda, pyometra,
sistik polikuler, sistik luteal, abortus, kematian fetus, mumifikasi, maserasi
dan penyakit pasca melahirkan meliputi Retensia Plasenta, Mastitis, Radang
Uterus, dan Prolapsus Uteri.
Mastitis,Milk
Fever, Radang Uterus,Ratensia Plasenta, Distokia dan Proplapsus Uteri merupakan
penyakit yang menyerang ternak betina pasca melahirkan, penyakit tersebut
umumnya di sebabkan oleh bakteri dan kebersihan kandang.
B. Saran
Semoga Makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca
DAFTAR
PUSTAKA
Affandhy. S, Lukma., Wulan.C.P., Dian. R. 2007. Penanganan Gangguan
Reproduksi Pada Sapi Potong. Pusat
penelitian dan pengembangan peternakan: Bogor.
http://gapuspindo.org/2016/11/30/tinggi-angka-kematian-pedet-di-ntb/( Diakses 28 Oktober 2019 )
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2599713/8-negara-dengan-tingkat-konsumsi-dagin
paling-tinggi-di-dunia.diakses 28 oktober 2019
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/N2JjOWVhNmMyYzFkM2ZhMWM2NDAyOGY3NDQ2MjYxMWQwMTVhZDk5YQ==.pdf
(Diakses pada tanggal 27 Oktober 2019).
Syarif, E.J. 2017.
STUDI Kasus Penanganan Retensi Plasenta
Pada Sapi Betina
Pt.Ultra
Peternakan Bandung Selatan. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
https://hayatalfalah.blogspot.com/2017/03/penanganan-sapi-distokia-penyebah.html.Diakses
pada tanggal 2 November 2019.
https://www.sapibagus.com/faktor-dan-gejala-distokia-pada-ternak-sapi/.
Diakses pada tanggal 2 november 2019.
http://sapi-peres.blogspot.com/2013/12/penyakit-pada-sapi-perah.html.
Diakses pada tanggal 2 November 2019
Komentar
Posting Komentar