Langsung ke konten utama

Penyakit Ternak Pasca Melahirkan


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sapi merupakan komoditi utama penghasil daging dan susu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Hampir seluruh masyarakat didunia  memanfaatkan ternak sapi sebagai sumber penghasilan sehari hari dan  seluruh masyarakat didunia menyukai akan hasil produksi ternak seperti daging dan susu.
Namun kebutuhan konsumsi daging di Indonesia masih sangat kurang sebesar  3,35 gram (5,91 persen), sedangkan untuk telur dan susu sebesar 3,34 gram (5,89 persen) dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Australia yang mencapai 90,2 kg per orang. Kekurangan konsumsi daging orang Indonesia diakibatkan karena kurangnya ketersediaan daging di setiap daerah dan peternakan di Indonesia masih merupakan peternak tradisional.
Kurangnya ketersediaan daging ini diakibatkan karena kurangnya perhatian yang lebih dari pemerintah keperternakan maskipun terdapat program BSS dari pemerintah. Dalam upaya meningkatkan hasil produksi ternak pertahunnya pemerintah dapat melakukan sekolah peternakan bagi peternakan rakyat  yang masih bersifat tradisional agar manajemen pemeliharaannya mendapatkan hasil yang efisien.
Manajemen pemeliharaan yang baik dapat  meningkatkan hasil produksi ternak yang efisien. Manajemen pemeliharaan meliputi pemebrian pakan, manajemen kandang, manejeman kesehatannya dan manajemen perkawinannya. Manajemen kesehatan menjadi hal yang paling penting dalam manajemen pemeliharaan survei membuktikan bahwa tingkat kematian atau penyebaran penyakit pada ternak di indonesia masih cukup tinggi mencapai 90,92 % danangka kematian pedet usia 0-6 bulan di Provinsi NTB sudah masuk kategori kritis, yang mencapai 20 persen lebih setiap tahunnya, dari jumlah total indukan yang bunting melahirkan.
penyakit merupakan salah satu faktor yang menghambat produksi dan reproduksi ternak. Penyakit reproduksi umunya menyerang ternak betina seperti mandul, Anestrus, otropi ovarium, apalasia uterus, silent uterus, ovulasi tertunda, pyometra, sistik polikuler, sistik luteal, abortus, kematian fetus, mumifikasi, maserasi dan penyakit pasca melahirkan meliputi Retensia Plasenta, Mastitis, Radang Uterus,  dan Prolapsus Uteri. Ganguan reproduksi pasca melahirkan sangat memberikan kerugian yang cukup tinggi terhadap petani maupun perusahaan besar.
B.     Rumusan Masalah
Banyaknya ternak yang mengalami penyakit pasca melahirkan.
C.     Tujuan
Untuk mengetahui penyakit yang menyerang ternka pasca melahirkan.

























BAB II
ISI
Penyebaran penyakit pada ternak di indonesia masih cukup tinggi mencapai 90,92 % danangka kematian pedet usia 0-6 bulan di Provinsi NTB sudah masuk kategori kritis, yang mencapai 20 persen lebih setiap tahunnya, dari jumlah total indukan yang bunting melahirkan.
penyakit merupakan salah satu faktor yang menghambat produksi dan reproduksi ternak. Penyakit reproduksi umunya menyerang ternak betina seperti mandul, Anestrus, otropi ovarium, apalasia uterus, silent uterus, ovulasi tertunda, pyometra, sistik polikuler, sistik luteal, abortus, kematian fetus, mumifikasi, maserasi dan penyakit pasca melahirkan meliputi Retensia Plasenta, Mastitis, Radang Uterus,  dan Prolapsus Uteri. Ganguan reproduksi pasca melahirkan sangat memberikan kerugian yang cukup tinggi terhadap petani maupun perusahaan besar. Adapun penyakit pasca  melahirkan sebagai berikut:
A.    Radang Uterus
Infeksi pada uterus (rahim) merupakan kejadian yang umum terjadi pada sapi induk selama periode setelah melahirkan (postpartum). Sapi dengan masa nifas (puerperiumI normal, uterus bebas dari kontaminasi bakteri empat minggu postpartum). Uterus secara normal dilindungi dari kontaminasi bakteri oleh vulvasphincter vestibular dan servik. Selama dan segera setelah melahirkan, normalnya uterus akan dikontaminasi oleh bermacam mikroorganisme patogen dan non-patogen. Sebagian besar bakteri akan dieliminasi oleh mekanisme pertahanan uterus selama masa puerperium. Organisme patogen yang tetap berada di uterus dan menyebabkan penyakit di uterus sapi adalah Actinomyces pyogenes. Bakteri Gram-negatif anaerob, Fusobacterium necrophorum dan Bacteroides melaninogenicus sering mengikuti A. pyogenes. Bacteroides menurunkan daya chemotaxis dan menghambat phagocytosis (pembunuhan) bakteri yang dilakukan netrofil, persistensi A. pyogenes juga diikuti coliformPseudomonas aeruginosa, staphylococcihemolytic streptococciClostridium spp. juga dapat menginfeksi uterus dan menyebabkan metritis gangrene atau tetanus parah. Sebagian besar organisme yang mengkontaminasi uterus selama masa postpartum akan memproduksi penicillinase.
Infeksi uterus berkaitan dengan retensi plasenta/Retained Fetal Membrane (RFM), distokia, kembar, kondisi berlebihan, kondisi kekurangan, konsumsi urea berlebihan pada periode kering dan populasi sangat padat, penanganan RFM secara manual, kondisi beranak tanpa sanitasi memadai, serta adanya traumatik pada saat pertolongan kelahiran. Infeksi uterus postpartum lebih banyak terjadi pada sapi perah dibandingkan dengan sapi potong. Infeksi uterus diartikan infeksi dengan ciri adanya lendir dari uterus, masa postpartum, temuan klinis dan status hormonal.
a.      Diagnosa Infeksi Saluran Reproduksi
Berdasarkan gejala klinis, infeksi uterus bervariasi tergantung pada virulensi dari organisme penyebabnya dan adanya fakor predisposisi penyakit. Lochia (lendir postpartum) normalnya di keluarkan dari saluran reproduksi awal minggu pertama setelah melahirkan, namun lendir akan bertahan sampai 30 hari jika involusi uterus tertunda. Lendir akan berwarna coklat gelap, merah, putih atau terlihat gejala klinis sepsis. Palpasi perrektal bertujuan untuk melakukan evaluasi involusi uterusyang umumnya terjadi setelah tiga minggu melahirkan. Involusi uterus yang tertunda teraba tanpa tonus dan kurangnya garis-garis involusi (longitudinal rugae) seperti yang ditemukan pada uterus normal. Pada kasus metritis, uterus membengkak dan rapuh, terjadi deposit fibrin dan perlengketan uterus dengan organ lain dapat diraba. Involusi berjalan  normal, jika cairan di dalam lumen uterus sudah tidak dapat dipalpasi pada 14-18 hari setelah melahirkan.
Sapi yang lumen uterusnya berisi cairan yang bertahan lama setelah kelahiran dan dapat diraba, menunjukkan adanya gangguan patologis, tertundanya involusi uterus atau terjadi kerusakan uterus yang permanen. Evaluasi ukuran servik dan terlihatnya leleran kental juga diperlukan untuk diagnosa. Endometritis pada sapi perah ditandai dengan adanya lendir kental dari uterus atau diameter servik lebih besar dari 7,5 cm setelah 20 melahirkan atau lendir mukopurulen 26 hari setelah melahirkan.
Pengamatan eksudat purulen dengan menggunakan speculum vaginoskop untuk mendiagnosa endometritis subakut dan kronis, serta untuk mengevaluasi respon penanganan. Penelitian menunjukan 16,9% endometritis dan vaginoskopi mampu mengidentifikasi lendir purulent 44% total kasus. Sterililitas speculumdisposable dan persiapan alat sangat penting dilakukan agar aseptis bagi perineum dan alat genital luar. Real-time ultrasonography digunakan untuk menunjukkan perubahan uterus yang berhubungan dengan infeksi postpartus. Cairan intrauterin karena infeksi uterin berisi partikel echogenik dan mudah dibedakan dengan cairan non-echogenik yang muncul pada saat estrus dan kebuntingan. Dinding uterus yang mengalami infeksi akan memiliki ketebalan yang berbeda. Sapi dengan kasus metritis sepsis, terjadi peningkatan jumlah netrofil (neutropenia). Hypocalcemia, yang terjadi pada awal postpartum menyebabkan metritis. Kejadian ketosis dan metritis secara bersamaan sering terjadi pada sapi perah. Konsentrasi level Nonesterified Fatty Acids (NEFAs) pada sarah sapi mengganggu fungsi limfosit dalam pertahanan tubuh.
Sampel yang digunakan untuk kultur bakteri adalah cairan intrauterine, dilakukan kultur pada lingkungan aerob dan anaerob. A. pyogenes dan Gram-negatif anaerob biasanya disebut sebagai organisme penyebab infeksi uterus. Kultur bakterial dan uji sensitifitas antibiotik menunjukkan kejadian infeksi uterus pada suatu peternakan. Pada suatu penelitian, 157 kasus endometritis terdeteksi dengan palpasi rektal, namun isolasi bakteri dari lendir uterus hanya 22% dari jumlah sampel.
Diagnosa dengan histologi sel/jaringan, netrofil memberikan respon primer pada patogen bakteria saat uterus dalam kondisi postpartum, sehingga terjadi peningkatan jumlah sel-sel Polymorphonuclear (PMN) pada lumen uterus. Evaluasi jumlah dan sebaran PMN dalam uterus dapat mengidentifikasi endometritis. Endometritis subklinis pada sapi perah, tidak menunjukkan gejala klinis, terlihat normal tanpa terlihat lendir infeski. Netrofil berkisar 18% pada 20-33 hari postpartum dan lebih besar 10% pada hari 34-47 postpartum.

 b. Penanganan dan  Prognosa
Terapi untuk infeksi uterin dibagi menjadi empat kategori, yakni terapi intrauterin (antibiotik dan antiseptik kimia), antibiotik sistemik, supportif terapi dan terapi hormon. Beragam antibiotik dan antiseptik kimia banyak dilakukan infusi intrauterin untuk penanganan infeksi postpartum sapi. Uterus memiliki lingkungan anaerob, sehingga dipilih antibiotik yang mampu bekerja tanpa oksigen. Kebanyakan antibiotik dan kimia menekan aktivitas netrofil pada uterus dan melamahkan mekanisme pertahanan uterus, sehingga penggunaannya harus sangat hati-hati. Organisme penyebab infeksi uterus postpartum biasanya sensitif terhadap penicillin, tetapi bakteri kontaminan yang ada beberapa minggu postpartum menghasilkan penicillinase, sehingga menghilangkan efek penicillin pada pemberian intrauterin. Organisme tersebut akan tereliminasi 30 hari postpartum, maka pemberian penicillin intrauterin efektif dilakukan setelah 30 hari postpartum dengan dosis Minimal Inhibitory Concentration (MIC) 1x106U mampu menekan A. pyogenes.
Oxytetracycline tidak direkomendasikan untuk terapi intrauterin untuk infeksi postpartum, karena isolat A. pyogenes dari uterus sapi resisten terhadap oxytetracyclineoxytetracycline mengiritasi uterus dan menyebabkan endometritis, serta menimbulkan residu pada susu dengan masa withdrawal time yang sulit ditentukan. Terapi larutan iodine intrauterin banyak dilakukan dokter hewan. Kejadian RFM dan endometritis menurun pada sapi yang diinfusi dengan 500 mL, 2% Lugol’s iodine segera setelah melahirkan dan enam jam berikutnya. Pemberian infusi 50-100ml, larutan 2% polyvinylpyrrolidone-iodine 30 hari postpartus tidak meningkatkan perfoma reproduksi sapi normal dan merugikan terhadap kesuburan sapi karena endometritis. Sehingga, terapi intrauterin dengan larutan iodine untuk penanganan infeksi uterus tidak direkomendasi.
Beragam antibiotik spektrum luas direkomendasikan dengan pemberian injeksi pada kasus infeksi uterin sapi. Penicillin ataupun analog sintetiknya telah direkomendasikan (20.000 to 30.000 U/kg BB). Oxytetracycline tidak direkomendasi dengan pemberian sistemik karena susah mencapai MIC yang dibutuhkan untuk mematikan A. pyogenes pada lumen uterus. Ceftiofur (generasi ke 3 cephalosporin) merupakan antobiotik spektrum luas yang efektif untuk bakteri Gram-positif dan Gram-negatif penyebab metritis. Ceftiofur dapat menembus semua lapisan uterus tanpa menimbulkan residu pada susu. Pemberian ceftiofur subkutan dosis 1mg/kg pada sapi perah postpartum menghasilkan konsentrasi ceftiofur dan metabolitnya aktif dalam plasma, jaringan uterus dan cairan lochia, efektif untuk menangani metritis. Pemberian ceftiofur dosis 2,2 mg/kg selama lima hari berturut turut, sama efektifnya dengan pemberian procaine penicillin G atau procaine penicillin G plus oxytetracycline infusi intrauterin untuk pengobatan infeksi. Terapi cairan elektrolit (polyionic nonalkalizing) diperlukan pada penanganan dehidrasi karena metritis. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs seperti flunixin meglumine digunakan untuk mencegah toksemia dan meningkatkan kebugaran. Terapi tambahan berupa kalsium dan suplemen energi membantu pemulihan induk.
Pemberian estrogen dan oxytocin tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan kontraksi myometrium, menghasilkan estrogen sehingga material sepsis akan tersebar ke seluruh uterus dan servik, menyebabkan salpingitis bilateral. Prostaglandin F2α (PGF2α) dan analognya  banyak digunakan pada bermacam abnormalitas saluran reproduksi, seperti infeksi uterin postpartum. Konsentrasi prostaglandin F2α pada serum berhubungan dengan involusi uterus. Prostaglandin tidak berperngaruh pada aktivitas ovarium postpartus, tapi berpengaruh pada konsentrasi luteinizing hormone pada plasma. Prostaglandin merupakan hormon yang bagus untuk terapi pyometra. Luka endometrium mengalami kesembuhan dalam 30 hari, kesuburan akan membaik. Pemberian GnRH tunggal pada awal postpartum atau dikombinasi PGF2α 14 kemudian, akan menginduksi siklus estrus namun tidak meningkatkan perfoma reproduksi sapi perah dengan kasus distokia, RFM, atau keduanya.
Prognosis untuk kesembuhan infeksi uterin postpartum bervariasi tergantung tingkat keparahan. Kebanyakan sapi dengan endometritis dapat disembuhkan. Metritis diikuti dengan septisemia berakibat kerusakan permanen, penurunan produksi susu, laminitis, atau kematian pasien walaupun dengan pengobatan yang agresif. Pyometra dapat disembuhkan dengan penanganan intensif dan benar.



c.       Pencegahan Penyakit
Sapi dengan abnormalitas postpartum seperti hypocalcemia, distokia dan RFM lebih beresiko terhadap infeksi uterus dibanding dengan sapi normal. Manajemen sanitasi, nutrisi, menjaga kepadatan populasi dan pencegahan stress harus ditingkatkan untuk mencegah kasus infeksi. Kebersihan kandang saat melahirkan, prosedur aseptis untuk penanganan distokia sangat dibutuhkan. Kontaminasi lingkungan oleh mikroorganisme patogen menimbulkan infeksi saluran reproduksi selama 2-3 bulan postpartus. Sapi dengan gejala infeksi saluran reproduksi dipisahkan ke kandang isolasi. Pemberian ceftiofur sistemik yang berhubungan dengan distokia, RFM, atau keduanya mengurangi kejadian metritis hingga 70% dibandingkan dengan sapi yang tanpa dilakukan pemberian antibiotik.
d.      Penyebab
Adanya kontaminasi mikroorganisme dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada uterus. Sebenarnya pada sapi yang uterusnya terinfeksi, bakteri terlihat berada dalam uterus tanpa berproliferasi menjadi suatu peradangan, sampai progesteron luteal turun meregulasi fungsi imun, dan menyebabkan suatu kondisi patologis. Infeksi uterus sering kali dihubungkan dengan Arcanobacterium pyogenes, Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum dan Prevotella melaninogenicus , serta bovine herpesvirus-4 dan Corynebacterium pyogenese, dapat diidentifikasi sebagai salah satu mikroorganisme penyebabnya. Faktor pendukung terjadinya endometritis(radang uterus) adalah distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran kembar, infeksi bakteri serta penyakit metabolit.
B.     Prolapsus Uteri (Broyong) Pada Ternak

Prolapsus uteri merupakan keadaan uterus membalik ke luar melalui vulva pada stadium ketiga kelahiran. Prolapus uteri menyebabkan jarak kelahiran, days open, dan estrus post partum menjadi lebih panjang. Prolapsus uteri (broyong) adalah kondisi dimana rahim (uterus) ternak betina keluar dari tubuh pada saat ternak betina tersebut merejan. Kondisi ini akan selalu berulang kecuali dengan penanganan yang cermat. (Toelihere 2008) Menambahkan bahwa Prolapsus uteri adalah mukosa uterus keluar dari badan melalui vagina secara total ada pula yang sebagian. Prolapsus atau pembalikan uterus sering terjadi segera sesudah partus dan jarang terjadi beberapa jam sesudah itu. Predisposisi terhadap prolapsus uteri menurut Toeliehere (1985) adalah pertautan mesometrial yang panjang, uterus yang lemah, atonik dan mengendur, retensi plasenta pada apek uterus bunting dan relaksasi daerah pelvis yang berlebihan
a.      Adapun penyebab Prolapsus Uteri sebagai berikut:
b.      Ternak selalu dikandangkan
c.       Tingginya hormon estrogen.
d.      Tekanan intra abdominal saat berbaring
e.       Kelainan genetik.
f.       Ternak di kandang dengan bagian belakang lebih rendah daripada bagian depan.
Menurut Toeliehere (1985) Prolapsus uteri sering terjadi pada sapi yang sudah sering partus dan hewan yang telah berumur tua dan makanan yang kurang baik selama hewan itu dipelihara dalam kandang, menyebabkan keadaan ligamenta penggantung uterus menjadi kendor, lemah dan tidak cepat kembali ke posisi sebelum bunting.
b. Gejala klinis/ Tanda-tanda Prolapsus Uteri:
a.       Nafsu makan dan minum turun.
b.      Ternak gelisah.
c.        Ternak biasanya berbaring tetapi dapat pula berdiri dengan uterus menggantung kebelakang.
d.      Selaput fetus dan atau selaput mukosa uterus terbuka dan biasanya terkontaminasi dengan feses, jerami, kotoran atau gumpalan darah.
e.       Uterus biasanya membesar dan udematus terutama bila kondisi ini telah berlangsung 4-6 jam atau lebih.
c. Tindakan pencegahan prolapsus uteri
a.       Membuat desain lantai kandang yang tidak terlalu miring.
b.       Ternak di exercise (ternak di umbar).
c.       Kontrol manajemen pakan sehingga ternak yang bunting tidak mengalami kegemukan
d.      Jangan memelihara ternak yang pernah mengalami kejadian prolaps vagina atau rektal pada saat bunting.
Penanganan prolapsus uteri
Penanganan secara teknis yaitu dengan menempatkan ternak pada kandang dengan kemiringan 5 –15 cm lebih tinggi dari bagian belakang. Penanganan prolapsus dipermudah dengan handuk atau sehelai kain basah. Uterus dipertahankan sejajar vulva sampai datang bantuan. Uterus dicuci bersih dengan air yang dibubuhi antiseptika sedikit. Uterus direposisi. Sesudah uterus kembali secara sempurna ketempatnya, injeksi oksitosin 30-50 ml intramuskuler. Kedalam uterus dimasukkan larutan tardomisol (TM) atau terramisin. Dilakukan jahitan pada vulva dengan jahitan Flessa atau Buhner. Jahitan vulva dibuka dalam waktu 24 jam. Dalam waktu tersebut servik sudah menutup rapat dan tidak memungkinkan terjadinya prolapsus. Penyuntikan antibiotik secara intramuskuler diperlukan untuk membantu pencegahan infeksi uterus. Prinsip dasar penanganan kasus ini adalah mengembalikan organ yang mengalami prolaps ke posisi normalnya.
Ini adalah sebuah penanganan darurat untuk kasus prolapsus uteri yang sering terjadi apabila peralatan dan obat yang terbatas.
a.       Siapkan air bersih.
b.      Sediakan sekitar 4 buah es batu (biasanya dibungkus plastik @ 1liter)
c.       Siapkan alkohol.
d.      Siapkan jarum jahit/ 1 set alat jahit (kalau tidak ada, pakai jarum karung dan tali rafia -semuanya dicuci air panas dan direndam dulu dalam alkohol 70%).
e.       Cuci alat reproduksi yang keluar dengan air bersih sekalian sisa placenta dan corpus luteum disingkirkan sekalian, lalu perlahan-lahan masukkan seluruh organ reproduksi itu kedalam sampai masuk seluruhnya.
f.       Tekan mulut vagina dan masukkan es batu kedalam, untuk membekukan darah.
g.      Jahit luka sobeknya dengan jarum dan tali rafia.
h.      Letakkan ternak pada alas tanah dengan posisi kaki depan lebih rendah dari kaki belakang
i.        Usahakan ternak berada dalam ruangan yang terbatas, ternak tidak dapat memutar.
j.         Injeksi dengan vitamin A, D, E, K serta prepaat calcium (misalnya Calidex - su ctan sebanyak 25 cc).
k.      Beri ternak makan dan minum secukupnya.
l.        Setelah 3 - 4 hari biasanya kandungan sudah mulai normal dan jahitan sudah mengering, tali rafia boleh dilepaskan.
d.      Penanganan Prolapsus juga dapat dilakukan dengan cara :
a.       Bagian vagina yang mengalami prolapsus di bersihkan dengan air yang telah dicampur Iodium Tincture sebelumnya
b.      Bagian vagina dan cervix kemudian di dorong dan di masukkan dengan cara menguakkan vulva, mendorong vagina bagian ventral terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan bagian dorsal. Kemudian ujung prolaps dimasukkan dengantangan seperti meninju kearah dalam.Hal yang perlu diperhatikan adalah : hindari terjadinya bleeding, dan yang kedua, apabila prolaps sudah di masukkan pada posisi yang benar, secara otomtis sapi akan urinasi alias kencing, Hal ini terjadi karena semasa prolaps, saluran urethra akan tertutup/tergencet dengan bagian vagina yang keluar.
c.       Anestesi epidural
Anestesi epidural ini, jarum di suntikkan pada ruang intercoccygeal pertama


Apabila berhasil, maka bagian-bagian yang terblokir oleh anestesi epidural ini adalah
bagian yang di arsir pada gambar berikut, apabila menggunakan procain 2% sebanyak 10cc



Apabila telah dilakukan anestesi, maka perlu kita cek terlebih dahulu, apakah anestesi yang kita lakukan sudah bekerja atau belum. Caranya adalah dengan melihat ekornya, apabila ekornya sudah lemas, dan tidak ada gerakan menyibak-nyibakkan ekor,maka obat sudah mulai berfungsi. Cara yang kedua adalah yang paling valid, kita ambil jarum steril kita suntikkan pada bagian yang akan kita jahit. Apabila sapi menendang-nendang atau masih bergerak, berarti efek obatnya belum sempurna, perlu di tunggu beberapa menit atau di tambah dosisnya.
     Obat yang digunakan adalah Lidocaine 2 %. Berdasarkan pengalaman, 2 ampul atau 4 cc saja sudah cukup untuk kasus ini. Pemberian ini aman, berdasarkan yang saya baca di buku anestesi veteriner, anestesi ini pada sapi menggunakan procaine 2% dengan pemberian mencapai 17 cc atau 9 ampul.
d.      Menjahit vagina
          Benang digunakan adalah tali sepatu, yang sudah di rendam dalam Iodium tincture  
supaya steril dan dapat juga menggunakan pita. Dengan Model jahit lubang peluru, yang
memutari vagina. Kemudian jahitan dibuka kembali setelah 24 jam.
e.       Untuk menghindari infeksi, sebaiknya sapi di beri antibiotic, penangan suportif terapi yang lain seperti antihistamin dan ATP.



                                                                                     
C.    RETENSIO PLACENTA
       Retensi placenta atau retensi sekundinarium atau retensi skundiae adalah gangguan komplek yang ditandai dengan kegagalan pelepasan membrane fetus pada stadium membrane. Secara fisiologik selaput fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus, apabila placenta menetap lebih lama dari 8-12 jam sehingga disebut retensio sekundinae (placenta).
       Retensio placenta merupakan keadaaan dimana gagalnya pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal (manan,2002). Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus , tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. karakula maternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga kripta pada karankula berdilatasi. Akibat daari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karunkula sehingga placenta terlepas. Pada retensi placenta, pemisahan dan pelepasan vili fetalis dari kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi pertautan. Kurang dari 3% kasus retensio placenta disebabkan oleh gangguan mekanis, 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan placenta setelah melahirkan, mungkin juga karena defisiensi hormon yang menstimulasi kontraksi uterus pada waktu melahirkan, seperi oksitoksin atau estrogen.
    Gangguan pelepasan placenta yang berasal dari karunkula induk dimana terjadinya gangguan pembentukan prostaglandin pada karunkula induk sehingga kontraksi uterus menurun. karena semakin sedikit prostaglandin yang diproduksi semakin lemah pula kontraksi uterus yang terjadi.
Menurut penelitian Barnouin dan Chassagne (1996), masa bunting yang tidak normal dan gangguan saat melahirkan merupakan faktor yang paling berpengaruh seperti gangguan kontraksi uterus akibat perlukaan atau mekanisme stress. Dilaporkan juga adanya keterkaitan munculnya retensi plasenta dengan gangguan metabolisme setelah melahirkan. Menurut Larsons (1985) dan Joosten (1991) ada pengaruh musim terhadap kejadian retensi plasenta, dimana angka kejadian retensi plasenta meningkat pada musim panas atau musim gugur.
a.      Penyebab penyakit retensio plasenta
                 Faktor- faktor penyebab munculnya retensi plasenta berbeda antara suatu negara dan negara lainnya karena adanya perbedaan manajemen, kondisi lingkungan, temperatur, dan kontrol kondisi kesehatan pada suatu peternakan di negara tertentu sehingga retensi plasenta juga akan memberikan penampilan reproduksi yang berbeda setelah melahirkan di masing-masing negara tersebut (Faye, 1991).
b.      Gejala Dari Penyakit Retensio Plasenta
     Ada Beberapa gejala klinis yang cukup jelas pada sapi yang mengalami retensio plasenta yaitu sebagian selaput fetus menggantung keluar dari vulva 12 jam atau lebih sesudah kelahiran normal, abortus atau distokia. Presentasi retensio plasenta yang menunjukkan gejala sakit kurang lebih 75% tetapi kurang lebih 20 % gejala metritis diperlihatkan antara lain depresi, tidak ada nafsu makan, peningkatan suhu tubuh, frekuensi pulsus meningkat dan berat badan menurun (Purba, 2008). Adapun gejala lain yang nampak yaitu adanya keberadaan selaput fetus di dalam servik dan bibir vulva menjadi bengkak merah dan kecoklatan(Toelihere,1985).
c.       Penanganan Dari Penyakit Retensio Plasenta
           Ada beberapa penanganan dan pengobatan yang dapat diberikan pada kasus retensi palsenta yaitu pemberian preparat hormon, pelepasan secara manual dan  pemberian antibiotik sistemik,.Untuk treatment pengobatan yang akan diberikan pada kasus retensi plasenta pertama-tama harus memperhatikan adanya infeksi ikutan.Penanganan pada kasus retensi plasenta bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa plasenta dari saluran reproduksi, ini harus segera dilakukan dengan segera untuk menghindari terjadinya infertilitas pada induk. (Hardjopranjoto,1995). Plasenta harus keluar karena akan mempengaruhi proses reproduksi selanjutnya. Bakteri yang menempel pada plasenta akan masuk ke dalam organ reproduksi. Jasadjasad renik seperti Burucella Abortus, Tuberculosis Campylobacter Fetus dan berbagai jamur menyebabkan placentitis.
d.      Hormon yang berperan dalam penanganan penyakit retensio plasenta
                  Produk hormon yang paling umum digunakan dalam mengobati retensi plasenta adalah prostaglandin dan oksitosin. Hormon ini berperan dalam kontraksi uterus dan dapat efektif dalam mengobati retensi plasenta karena atonia uteri. Namun, banyak penelitian yang tidak mendukung penggunanaanya sebagai pengobatan yang umum pada retensi plasenta (Patel.RV etal., 2016). Bekerja secara tidak langsung, yaitu dengan menyebakan kontraksi dan dilatasi serviks.  Menurut Waheeb et al., (2014) pemberian PGF2α menunjukan hasil calving interval 380 hari, conception rates 60%. Pengobatan menggunakan PGF2α menunjukan ekspulsi dari plasenta sebesar 100%.  Menurut Waheeb et al., (2014) pengobatan dengan oksitosin nenunjukkan hasil calving interval sepanjang 409 hari, sementara conception rates 30%. Kurang efektifnya oksitosin dibandingkan prostaglandin disebabkan oleh variasi dosis oksitosin yang dibutuhkan, waktu injeksi, dan kombinasi dengan estrogen.
e.       PengobatanAntibiotik Yang Berperan Dalam Penanganan Penyakit Retensio Plasenta
                Antibiotik Penggunaan terapi antimikroba dalam pengobatan retensi plasenta telah menunjukkan hasil yang bertentangan. Penggunaan antibiotik diindikasikan untuk penanganan gejala retensi plasenta yaitu metritis, efektif untuk mencegah atau mengobati metritispostpartum dan efek negatif berikutnya pada kesuburan. Penggunaan antibiotik chlortetracycline intrauterin sangat bermanfaat hanya dalam kasus aktif metritis klinis, bahwa antibiotik intrauterine bisa mengontrol pertumbuhan bakteri lokal dengan begitu bisa benar-benar mengganggu proses necrotizing yang akhirnya bertanggung jawab untukpelepasan retensi plasenta. Antibiotik tetrasiklin yang biasa digunakan untuk perawatan intrauterin pada sapi, menghambat Metaloproteinase matriks, atau MMP, sesuai dengan namanya, merupakan protease dengan aktivitas degradasi terhadap protein jaringan ikat seperti kolagen, elastin, proteoglikan dan laminin. Antibiotik sistemik diyakini bermanfaat dalam kasus retensi plasenta (Patel,RVet al., 2016). Penanganan yang dapat dilakukan dengan pelepasan selaput fetus secara manual, pemberian preparat antibiotika spektrum luas (oxytetracyclin, Chlortetracyclin atau Tetracyclin) (Lukman et al., 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Afshin D (2011) dengan membandingkan penanganan retensi plasenta pada sapi perah di Iran yaitu antara penanganan secara manual, injeksi intrauterin dan pemberian oxytetracylin dimana yang memberikan hasil yang signifikan adalah dengan pemberian oxytetracyclin.      
f.       Pelepasan Manual Plasenta yang dilakukan dalam penanganan
penyakit retensio plasenta
                    Pelepasan manual plasenta (Manual Removal) Pelepasan secara manual terhadap plasenta tetap menjadi praktek umum yang digunakan untuk penanganan kasus retensi, meskipun telah banyak penelitian yang gagal menunjukkan efek menguntungkan pada reproduksi setelah penanganan dengan pelepasan secara manual, (Patel.RV,et al., 2016) Pelepasan secara manual dapat mengakibatkan terjadinya infeksi rahim yang lebih sering dan parah bila dibandingkan dengan pengobatan yang lebih konservatif dan pelepasan plasenta secara manual dapat mengakibatkan calving interval yang berkepanjangan.Selain itu, bakteri patogen intrauterin ditemukan di 100 persen sapi yang diberikan penanganan dengan pelepasan plasenta secara manual,namun beberapa bukti dan penelitin yang ada terkait dampak penanganan dengan manual removal tidak mendukung dan memberikan kesadaran untuk tidak melakukan manual removal. Hal ini mungkin baik terhadap nilai estetika dalam menghilangakan dan membersihkan bau khas dari plasenta dan manfaat yang dirasakan, yang telah dipertanyakan oleh penelitian saat ini. Manfaat yang dirasakan termasuk gagasan bahwa mengeluarkan plasenta menghilangkan potensi sumber infeksi dan dengan demikian akan mengurangi endometritis dan efek negatif berikutnya pada kesuburan (Patel.RV et al., 2016). Hal ini juga didukung bahwa dengan pelepasan plasenta yang masih tertaut dapat menyebabkan kerusakan pada endometrium dan menekan fagositosis leukosit di uterus yang dapat menginvasipertumbuhan bakteri.Selain itu, sulit untukmemastikan bahwa seluruh plasenta telah dikeluarkan, dengan meninggalkan banyaknya nekrotik yang lebih berkontribusi terhadap invasi bakteri dari kerusakan endometrium.Pemeriksaan nekropsi sapi setelah penanganan dengan pelepasan manual plasenta mengungkapkan terjadinya pendarahan dinding uterus, hematoma dan trombus pembuluh darah, serta bukti makro atau mikroskopik yaitu jaringan kotiledon fetus melekat pada karunkula. Kombinasi kerusakan pada endometrium, invasi bakteri dan penekanan leukosit fagositosis dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya metritis postpartum dan efek negatif berikutnya pada kesuburan (Patel.RV et al., 2016). Pelepasan plasenta manual dapat dilakukan dengan  menempatkan tangan pada endometrium dan chorion di ruang interkotiledoner dan kotiledon fetal serta karankula dipegang secara individual, ditekan dan dengan ibu jari serta jari telunjuk memisahkan  secara hai-hati. semua selaput fetus harus dikeluarkan secara keseluruhan tanpa meninggalkan sisa didalam uterus yang sangat berpotensi terjadinya infeksi, dapat juga dilakukan irigasi (pencucian) dengan iodine povidone dengan konsetrasi <0,6 %. Providon Iodine boleh digunakan untuk infuse intrauterine apabila pengobatannya sudah menggunakan antibiotika intrauterine tidak berhasil, dan harus digunakan dengan konsentrasi <0.6% (Grunert,E, 1984). Perlekatan kotiledon dan karunkula 48 jam setelah partus masih kuat (Youngquist dan Threfael, 2007), 62% pengeluaran sempurna, 27% parsial, 11% tidak dapat dilepas (Youngquist dan Threfael, 2007).  Pelepasan secara manual memperpanjang days open dan calving interval (Waheeb et al., 2014).  Pelepasan manual menyebabkan kerusakan uterus, terutama di level mikroskopik dan berlanjut dengan infeksi (Amin, 2013; Waheeb et al., 2014; Zubair et al., 2014).
Gambar  Pelepasan secara manual plasenta
g.      Pencegahan Dari Penyakit Retensio Plasenta
o   Melakukan manajemen kandang
o   Memberikan vitamin A selama masa partus
o   Manajemen Pakan




D. DISTOKIA
            Distokia adalah  suatu gangguan dari suatu proses kelahiran atau partus, yang mana dalam stadium pertama dan stadium kedua dari partus itu keluarnya fetus menjadi lebih lama dan sulit, sehingga menjadi tidak mungkin kembali bagi induk untuk mengeluarkan fetus kecuali dengan pertolongan manusia.
         Distokia dibagi menjadi 2 jenis yaitu distokia maternal dan distokia fetal. Distokia maternal terjadi karena faktor saluran kelahiran dan organ pendukung kelahiran (uterus dan abdomen). Faktor saluran kelahiran terbagi menjadi ketidakmampuan dilatasi (uterus, serviks, vagina dan vulva) dan ukuran pelvis yang tidak memadai. Selain itu, distokia maternal dapat disebabkan oleh faktor kegagalan untuk mengekspulsi fetus akibat gangguan pada uterus yaitu inertia uteri, ruptur uteri atau torsio uteri; akibat gangguan pada abdomen yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk merejan dan obstruksi pada jalan kelahiran.
         Distokia fetal dapat terjadi karena faktor ukuran fetus yang terlalu besar (fetal oversize, fetal monster) dan faktor kesalahan posisi fetus (maldisposisi fetal) seperti malpresentasi, malposisi atau malposture fetal . Ukuran fetus yang besar dipengaruhi oleh banyak faktor yang meliputi : keturunan, faktor pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil, lama kebuntingan, jenis kelamin fetus yaitu fetus jantan cenderung lebih besar, kebuntingan kembar, pernah beranak sebelumnya serta nutrisi induk seperti pemberian pakan terlalu banyak sehingga dapat meningkatkan berat badan fetus dan timbunan lemak intrapelvis yang dapat menurunkan efektifitas perejanan. Selain itu, distokia fetal dapat juga disebabkan oleh faktor defisiensi hormon (ACTH/cortisol) dan kematian fetal.
a. Gejala Penyakit
  • Sapi sudah menunjukkan tanda-tanda akan beranak (ambing membengkak dan mulai meneteskan kolostrum.
  • Alat kelamin betina bengkak dan mengeluarkan lendir, merejan dan posisi badan membungkuk), namun sulit untuk mengeluarkan anak.
b. PENYEBAB
  Penyebab-penyebab dasar distokia pada sapi antara lain :
1. Faktor Lingkungan
1.          Ternak yang diberi makan yang jelek dan berada dalam kondisi yang buruk maka dapat mengalami kasus distokia yang tinggi, dan mengurangi daya hidup pedet. Pemberian pakan yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan meningkatnya berat fetus, timbunan lemak intrapelvis, dan beresiko besar mengalami distokia. Namun pengurangan diet secara drastis pada beberapa minggu terakhir kebuntingan juga harus dihindari karena fetus akan terus tumbuh, sedangkan tubuh induk akan menjadi korban karena nutrisinya terserap ke fetus.
  1. Hipokalsemia pada saat kelahiran adalah salah satu penyebab inersia uterine primer. Beberapa penyakit lain seperti salmonellosis dan brucellosis juga dapat menyebabkan distokia
2. Faktor Intrinsik
  1. Umur, berat badan, ukuran pelvis induk : insiden distokia yang tinggi terjadi pada sapi dara, yang dikawinkan sewaktu muda, dan pada kelahiran pertama sapi, namun hal ini dapat hilang seiring bertambah besarnya induk. Diameter pelvis dan area pelvis juga meningkat seiring pertumbuhan dari berat badan induk. Jarak eksternal diantara tuber coxae juga harus lebih besar dari 40 cm sebelum sapi dara dikawinkan.
  2. Lama kebuntingan : hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada beberapa ras continental (Bos taurus) menunjukkan waktu kebuntingan lebih lama, sampai hampir 290 hari dibandingkan waktu normal sapi yakni 283 hari. Pada sapi yang bunting lebih lama juga dapat meningkatkan berat anak sapi rata-rata 0,5 kg per hari dan panjang tulang fetus juga meningkat.
  3. Presentasi fetus : insiden distokia dan lahir mati juga kasus-kasus tertinggi dalam kasus distokia.
Gambar Posisi Anak Sapi Distokia
c. Pencegahan
  • Pemberian pakan dengan nutrisi yang baik selama kebuntingan.
  • Menggunakan semen dari pejantan yang sesuai dengan bangsa sapi induk
d. PENANGANAN
        Penanganan distokia yang dapat dilakukan yaitu :
1)  Mutasi, mengembalikan  presentasi, posisi dan postur  fetusagar normal dengan cara didorong (ekspulsi), diputar (rotasi) dan ditarik (retraksi)
2)  Penarikan paksa, apabila  rahimlemah dan  fetustidak ikut bereaksi terhadap perejanan.
3)  Pemotongan fetus (fetotomi), apabila presentasi, posisi dan postur  fetusyang abnormal tidak bisa diatasi dengan mutasi/penarikan paksa dan keselamatan induk yang diutamakan.
4)  Operasi Sesar(Sectio Caesaria), merupakan alternatif terakhir apabila semua cara tidak berhasil.  Operasiini dilakukan dengan pembedahan perut (laparotomi) dengan alat dan kondisi yang steril.
       Mutasi dapat dilakukan melalui repulsi (pendorongan  fetuskeluar dari pelvis  induk  ataujalan kelahiran memasuki rongga perut dan rahim sehingga tersedia cukup ruangan untuk pembetulan posisi atau postur  fetusdan ektremitasnya),  rotasi(pemutaran tubuh pada sumbu panjangnya untuk membawa  fetuspada posisi dorsosakral),  versi(rotasi  fetuspada poros transversalnya yaitu situs  anterioratau  posterior) dan pembentulan atau perentangan ekstremitas.
D.    DEMAM SUSU (MILK FEVER/PARESIS PATELLARIS) 
a. Gejala Umum
  • Gejala penyakit pada tingkat masih rendah, sapi masih dapat berdiri, tetapi nafsu makan hilang, kurang peka terhadap lingkungan,kaki dan telinga dinging, suhu badan rendah kurang lebih 35˚C, kaki belakang lemah dan sulit berkurang atau berhenti sehingga terjadi penimbunan gas di dalam rumen
  • Tingkat parah sapi hanya mampu bertahan 6 sampai dengan 24 jam saja. Sebenarnya angka kesembuhannya cukup baik dan tingkat mortalitas kurang dari 2-3 % apabila segera diketahui dan diberikan pertolongan
b. Penyebab
  • Produksi air susu. Biasanya peningkatan produksi air susu akan meningkatkan metabolisme Ca dan meningkatkan Ca ke colostrum. Bila pemasukan tidak seimbang maka kemungkinan besar akan terjadi Milk Fever.
  • Umur sapi. Penyerapan Ca pada sapi-sapi tua mengalami penurunan.
  • Kemauan makan sapi. Pada saat menjelang melahirkan, 8-16 jam atau lebih, kebanyakan sapi mengalami penurunan nafsu makan. Turunnya nafsu makan akan menyebabkan turunnya ketersediaan kalsium yang siap diserap.
  • Ransum pakan. Pakan sapi perah yang terdiri dari hijauan dan konsentrat yang seimbang adalah Ca:P = 1:1.
c. Perawatan
  • Penyuntikan 750 s/d 1500 ml Gluconas calcium 20 % secara intravena pada vena jugularis. Suntikan dapat diulangi kembali setelah 8 sampai 12 jam kemudian
d. Pencegahan
·         Sapi harus cukup mendapatkan kandungan Ca, P, Mg dalam ransum.
  • Pengobatan dengan injeksi preparat-preparat Ca secara intravenous 500 cc, dengan larutan calsium gluconate 20 %.
F. MASTITIS
Mastitis adalah suatu peradangan pada ambing karena suatu penyakit atau proses infeksi yang secara signifikan dapat mengurangi produksi susu terutama pada industri sapi perah, dan penyakit ini dapat terjadi pada semua mamalia. Pada sapi penyakit ini sering dijumpai pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri atau mikroplasma.Penyakit mastitis dapat bersifat sub akut, akut, atau kronis.
a. Adapun penyebab terjadinya mastitis:
1.       Penyebab utama pada mastitis adalah bakteri Staphylococcus sp.  Bakteri ini bisa menginfeksi karena kandang yang tidak bersih, ketika ternak tidur ambing langsung bersentuhan langsung dengan lantai kandang, dan adapaun bakteri lainnya seperti  Streptococcus agalactiae , Streptococcus disgalactiae , Streptococcus uberis, Streptococcus zooepidemicus,  Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes,  Psuedomonas aeruginosa
2.    Lubangnya ambing yg terbuka lebar disebabkan ternak sedang masa laktasi.
3.    Bahan kimia
4.    Temperatur atau suhu
5.      Trauma peralatan mekanik
6.      Bakteri penyebab mastitis juga banyak terdapat di lingkungan tempat hewan di pelihara. Bakteri ini dapat hidup di kulit, lantai kandang, atau alat-alat yang telah tercemar. Bakteri ini dapat bertahan hidup apabila pemerahan yang tidak higenis dan kebersihan lingkungan yang buruk, apabila bakteri masuk ke lubang puting maka akan terjadi infeksi ambing. Kesalahan dalam perawatan mesin perah dan kesalahan manajemen kebersihan akan memudahkan terjadinya mastitis pada sapi.
b. Gejala Mastitis
1. Adanya pembengkakan pada ambing dan puting yang terjadi pada satu kwartir atau lebih.
2. Timbulnya rasa sakit ketika ternak diperah.
3. Menurunnya produksi susu bahkan air susu tidak keluar sama sekali.
4. Meningkatnya suhu badan dan frekuensi pernafasan ternak
5.  Nafsu makan ternak akan menurun secara drastis
Berdasarkan gejala klinisnya, mastitis dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1.      Mastitis klinis: apabila terdapat perubahan fisik susu seperti susu pecah, bercampur nanah, ambing yang membengkak asimetris, berdarah, berjonjot, dan apabila di pegang panas serta menunjukkan adanya respon rasa sakit bila dipegang.
2.    Mastitis subklinis: apabila secara fisik tidak ditemukan adanya perubahan dari susu, tetapi apabila dilakukan uji mastitis maka akan terlihat adanya peningkatan jumlah sel darah putih dalam susu.
c. Pencegahan Mastitis
1. Higinie dan manajemen pemerahan, serta sanitasi kandang yang baik dapat mencegah  
     timbulnya penyakit ini.
2. Memisahkan ternak yang menderita mastitis dengan ternak yang sehat.
d. Pengobatan Mastitis
1.      Menggunakan antibiotik yang sesuai dengan bakteri yang menginfeksi, dan disarankan untuk melakukan uji sensitivitas terhadap bakteri sebelum melakukan pengobatan agar di peroleh hasil yang optimal. Tetapi penggunaan antoibiotika yang terus menerus dikhawatirkan akan berdampak pada kandungan residu yang tinggi.
2.      Pemberian Alga hijau
Penelitian ini diawali dengan melakukan ekstraksi alga hijau. Selanjutnya, dilakukan uji in vitro dengan metode difusi agar bertujuan untuk mengetahui zona hambat bakteri dan menentukan konsentrasi efektif dari ekstrak alga hijau yang mampu menghambat atau mematikan bakteri. Kemudian dilanjutkan uji dengan menggunakan hewan coba tikus yang diinfeksi bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) penyebab mastitis dengan cara dipping dan peroral. “Uji ini dilakukan selama 14 hari dan didapatkan hasil yang positif,” paparnya. Marista berharap potensi ekstrak alga hijau sebagai pengobatan alami kasus mastitis ini dapat mengurangi penggunaan antibiotik dan dapat dikembangkan menjadi pengobatan injeksi pada hewan ternak.
Daging sapi yang  menderita penyakit ini dapat dikonsumsi, tetapi harus memperhatikan tingkat keradangan ambing. Jaringan ambing yang rusak karena infeksi harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur.




BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
penyakit merupakan salah satu faktor yang menghambat produksi dan reproduksi ternak. Penyakit reproduksi umunya menyerang ternak betina seperti mandul, Anestrus, otropi ovarium, apalasia uterus, silent uterus, ovulasi tertunda, pyometra, sistik polikuler, sistik luteal, abortus, kematian fetus, mumifikasi, maserasi dan penyakit pasca melahirkan meliputi Retensia Plasenta, Mastitis, Radang Uterus,  dan Prolapsus Uteri.
Mastitis,Milk Fever, Radang Uterus,Ratensia Plasenta, Distokia dan Proplapsus Uteri merupakan penyakit yang menyerang ternak betina pasca melahirkan, penyakit tersebut umumnya di sebabkan oleh bakteri dan kebersihan kandang.
B.     Saran
Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca












DAFTAR PUSTAKA
Affandhy. S, Lukma., Wulan.C.P., Dian. R. 2007. Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong.  Pusat penelitian dan pengembangan peternakan: Bogor.
Syarif, E.J. 2017. STUDI Kasus Penanganan Retensi Plasenta Pada Sapi Betina
Pt.Ultra Peternakan Bandung Selatan. Makassar: Universitas Hasanuddin.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Retensi_plasenta. (Diakses pada tanggal 25 oktober 2019).
http://sapi-peres.blogspot.com/2013/12/penyakit-pada-sapi-perah.html. Diakses pada tanggal 2 November 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACAM-MACAM IDENTIFIKASI PADA TERNAK SERTA KELEBIHAN DAN KEKURANGANNYA

MAKALAH PRODUKSI TERNAK PERAH MACAM-MACAM IDENTIFIKASI PADA TERNAK SERTA KELEBIHAN DAN KEKURANGANNYA OLEH : NAMA   : JUNALDI SUPRIANTO M NIM        : B1D 017 138 KELAS : 5B1 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2019 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Ilmu Produksi Ternak Perah tepat pada waktunya. Ucapan   terima kasih juga kami sampaikan untuk dosen pengampu yaitu Bapak Muhammad Dohi, M.Si yang senantiasa telah memberikan materi tentang Ilmu Produksi Ternak Perah, serta teman-teman sekalian. Penulis sangat berterima kasih sebanyak-banyaknya jika ada kritik dan saran yang akan membangun dan memperbaiki tugas makalah ini. Semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya. Mataram, 1...

LAPORAN REPRODUKSI (Koleksi, Evaluasi, Pembekuan dan Pengenceran)

ACAR I KOLEKSI (PENAMPUNGAN) SEMEN KOLEKSI (PENAMPUNGAN) SEMEN 1.1. Tujuan Praktikum Adapun tujuan praktikum ini agar praktikan mengetahui cara penampungan semen dengan vagina buatan dan mendapatkan semen yang segar yang kualitasnya baik agar dapat diproses lebih lanjut. 1.2. Hasil Praktikum                      (a)                                                          (b) Gambar 1. Penampungan semen segar (a)Sample K1 (b)Sample K2 Dari hasil penampungan semen kambing yang telah dilakukan, didapatkan sperma kambing dengan volume K1 sebanyak 0,9 ml/ejakulasi da...